k o r a n

Koran

Kata “koran” berasal dari bahasa Belanda  “krant” dan dari bahasa Perancis “courant“. Koran atau surat kabar adalah sebuah bacaan yang dicetak pada kertas yang tipis dan lebar. Isinya terdiri dari banyak berita terbaru.

Koran terbit setiap hari. Tapi ada beberapa koran yang libur di hari libur atau hari besar. Di beberapa negara ada juga yang menerbitkan koran sore, selain itu ada juga koran mingguan yang ukurannya lebih kecil.

Setiap negara biasanya memiliki koran nasional, yaitu koran yang terbit di seluruh bagian negara.

Ada beberapa orang yang bekerja di sebuah penerbitan koran, antara lain wartawan, penulis, fotografer, ilustrator (penggambar). Ada juga editor yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap isi koran.

Nah…..orang yang suka menjualkan dan mengantar koran disebut loper koran. Katanya dulu sekali “loper” adalah nama seseorang yang pekerjaannya mengantar koran atau surat kabar ke rumah pelanggan. Sekarang loper koran sudah menjadi nama sebuah pekerjaan.

Sumber : dikutip dengan pengubahan dari majalah anak ‘mombi’

mengapa perut keroncongan ?

mengapa perut keroncongan ?

Sebenarnya perut tidak hanya keroncongan di saat lapar saja, tetapi juga saat membayangkan makanan yang lezat.

Perut menjadi keroncongan karena otak telah memberi perintah kepada organ pencernaan untuk menyiapkan diri menerima makanan yang akan dikonsumsi. Sistem pencernaan  kemudian menggiatkan diri untuk persiapan dan meningkatkan produksi jumlah cairan pencerna.

Selain cairan pencerna, di perut terdapat banyak gas. Nah…. jika campuran cairan pencerna dan gas sampai pada lubang kecil (semacam lubang yang memisahkan perut dan usus kecil, maka akan menimbulkan bunyi yang diistilahkan sebagai “keroncongan” .

Sedangkan istilah medis untuk perut keroncongan adalah : borborygmi

Sumber : dikutip dari buku pintar untuk anak cerdas

mancing…main…trus kuliner..

mancing…main…trus kuliner..

@Fishing Valley

waktu masih di bogor, akhir pekan biasanya kami jalan2. intinya sih ngajak main anak2 sekalian kuliner. salah satu tempat favorit anak2 adalah di Fishing Valley. selain karena tempatnya yang tidak terlalu jauh dari rumah (jadi bisa dijangkau dengan naik motor 😉 ) juga karena menunya yang ‘mak nyuuuussss’… :mrgreen:

ini adalah tempat mancingnya

mancing…mancing….kok ikannya ga dapet2 ya…..

sebelum mancing anak2 main dulu di arena outbond mini. gratissss….. kl mau menikmati flying fox cukup bayar 15.000 rupiah per orang……murah kan…. ?

meluncurrr……………

leganya setelah mendarat dengan sukses……………. 😀

ini namanya apa ya…? apakah jaring laba-laba….? 😀

booo……. sampai juga ke ujung

ini dia menu favorit anak2….. ‘ikan terbang’

menu di fishing valley lebih ke masakan sunda, dari ikan2an, trus ca kangkung, trus ad gado2, lalap plus sambel……etc

pokoknya seru deh….. 🙂

kalau mau ke sini dari warung jambu terus saja arah ke kedung halang, sampai perempatan kedung halang belok kiri, trus lurus terus sampai ketemu papan nama fishing valley. adanya di sebelah kiri jalan….. coba aja pasti ga nyasar…. :mrgreen:

Thumbelina

Thumbelina

(Little Tiny)

by: Hans Christian Andersen

There was once a woman who wished very much to have a little child, but she could not obtain her wish. At last she went to a witch, and said, “I should so very much like to have a little child; can you tell me where I can find one?”

    “Oh, that can be easily managed,” said the witch. “Here is a barleycorn of a different kind to those which grow in the farmer’s fields, and which the chickens eat; put it into a flower-pot, and see what will happen.”

    “Thank you,” said the woman, and she gave the witch twelve shillings, which was the price of the barleycorn. Then she went home and planted it, and immediately there grew up a large handsome flower, something like a tulip in appearance, but with its leaves tightly closed as if it were still a bud. “It is a beautiful flower,” said the woman, and she kissed the red and golden colored leaves, and while she did so the flower opened, and she could see that it was a real tulip. Within the flower, upon the green velvet stamens, sat a very delicate and graceful little maiden. She was scarcely half as long as a thumb, and they gave her the name of “Thumbelina,” or Tiny, because she was so small. A walnut shell, elegantly polished, served her for a cradle; her bed was formed of blue violet-leaves, with a roseleaf for a counterpane.  Baca lebih lanjut